Mutiara Hamka


   Siapa yang bisa lupa tentang betapa gagah beraninya Buya Hamka menerjang badai fitnah dan kritik ketika pada 7 Maret 1981 sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ia menfatwakan haramnya seorang muslim ikut merayakan Natal? Juga tenteng keberaniannya keluar masuk pejara rezim yang berkuasa demi dakwah?
   Lahir ditepi Danau Maninjau yang indah di Sumatera Barat tahun 1908, Hamka adalah seorang anak kecil yang `badung` dan menyusahkan hati ayahnya, yang seorang tokoh Muslim bernama Dr.Syeik Abdulkarim Amrullah atau Haji Rasul. Namun begitu kedewasaannya menjelang, sikecil Abdul Malik segera menemukan panggilan hatinya untuk berdakwah di jalan Allah. Usianya baru 21 tahun ketika dinikahkan dengan istrinya Raham binti Endah Sutan, gadis 15 tahun yang kemudian menjadi tambatan hatinya selama 40 tahun.

   Tetapi jangan lupa, Hamka yang otodidak namun memiliki gelar Ustadziyah Fakhriyah, alias honoris causa, dari Universitas Al Azhar di Mesir ini adalah juga seorang wartawan dan penulis terkemuka – paling tidak ada 100 buku besar dan kecil yang telah ditulisnya dalam Bahasa Indonesia. Bahkan lebih duku dia terkenal sebagai pengarang daripada sebagai ulama. Rugi kalau tak pernah kita sempatkan membaca karya-karyanya.
   Jadi mari ke toko buku atau perpustakaan dan mencari kembali karya-karyanya, mulai dari Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern, dan tentu saja, Tafsir Al Azhar, karya besarnya yang memakan waktu berbelasan tahun, saat lapang maupun saat sempit dalam penjara rezim Orde Lama.
Pada tahun 1958 – 1959, Hamka mulai menyiapkan bahan pelajaran Tafsir Al Qur`an untuk jamaah Masjid Raya Kebayoran Baru di Jakarta yang baru saja selesai dibangun. Rektor Universitas Al Azhar di Kairo, Mahmoud Syaltout, datang ke Jakarta pada bulan Desember 1960 dan menyampaikan kepada jamaah yang hadir : “Mulai hari ini saya sebagai syeikh (Rektor) Jami `Al Azhar member Masjid ini nama `Al azhar`, semoga menjadi Al Azhar di Jakarta sebagai Al Azhar di Kairo”.
   Catatan – catatan pelajaran Tafsir, ceramah dan kuliah umum di Mesjid Al Azhar Hamka itulah yang dikumpulkan di belakang hari dan di susun kembali menjadi Tafsir Al Azhar, sebagai “Pusaka yang moga – moga ada harganya untuk ditinggalkan bagi bangsaku dan ummat Muslim Indonesia, ketika panggilan Tuhan yang pasti dating kepadaku kelak”, demikian tulis Hamka dalam pengantarnya.
   Tak lama sesudah Tafsir Al Azhar diterbitkan, Hamka wafat di usia 73 tahun.

Sumber: Alia 2005

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Mutiara Hamka"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel